“Terkadang.. cara terbaik untuk tidak menyakiti seseorang adalah
dengan tidak mengenalnya”
Aku tahu,
usiaku sudah 32 tahun, dan aku tahu, aku masih sendirian. Jangankan kekasih,
dekat dengan seseorang pun aku tidak.
“Mbak, kakak sepupumu mau kenalin
kamu sama temennya. Seorang dokter. Udah mapan”. Mama memulai percakapan pagi
di meja makan dengan sesuatu yang paling aku hindari. Sambil menunjukkan foto
seseorang, mama terus berbicara tentang kebaikan orang yang bahkan belum pernah
beliau temui.
“Hmmm..”. Aku hanya menjawab malas.
Tentu saja aku malas. Bahkan hanya dengan melihat foto pun aku sudah tahu, it’s not him. Kegagalan yang sudah
terlalu sering membuatku semakin enggan untuk bertemu seseorang.
“Hari Jum’at ini dia mau ke rumah mbak”
“Ngapain?”
“Ya mau ketemu kamu dong mbak. Kalau
cocok langsung ngelamar”
Kalau cocok langsung melamar. Cih, begitu mudahnya para pria
memilih dan menentukan. Mereka pikir kami, para wanita, seperti baju yang
dipajang di department store. Dilihat, dicoba, kalau tidak cocok kemudian
ditinggalkan begitu saja?
Dan karena
usiaku yang sudah berangka banyak, lalu kemudian aku harus terima begitu saja
perjodohan ini? Bukankah aku juga berhak memilih? Bukankah aku juga berhak
menentukan perasaanku ini akan kuberikan kepada siapa? Karena aku bukan Siti
Nurbaya.
***
“Amara, gue
lagi di Bandung. Ketemu dong, gue kangen sama ade sepupu gue nih”
“Eh, mas Irvan, boleh mas, mau
ketemu kapan, dimana?”
“Habis Magrib gue ke rumah ya,
kangen sama tante juga. Kamu enggak lembur toh?”
“Enggak mas. See you at home ya”
Karena tidak
ingin kakak sepupuku menunggu, aku memutuskan untuk pulang lebih cepat dari
kantor.
“Mbak. Mas
Irvan katanya mau ke rumah ya?”. Mama menyapaku begitu aku masuk ke dalam
rumah.
“Iya ma.. “.
Dan aku melihat raut wajah mama yang nampak ragu. “Kenapa ma?”
“Gini mbak, tadinya sih dokter itu
enggak akan ke rumah, tapi setelah tahu kalo Irvan lagi di Bandung, dia mau
nyusul. Gak apa-apa ya mbak?”
Dan aku
belum pernah merasa begitu bodoh seperti saat ini. Dalam pikiranku, kenapa
keluargaku begitu teganya mengatur pertemuan bodoh yang tidak kuinginkan ini.
Kenapa aku tidak memiliki hak untuk mengatur hidupku sendiri. Apakah
kesendirianku menyusahkan orang lain. Apakah karena aku sendiri lalu aku tidak
mampu membiayai hidupku sendiri?
Aku tidak ingin merasakan sakit hati
lagi karena aku hanya menjadi seseorang yang dilihat tanpa dipilih. Dan aku pun
tidak ingin menyakiti orang lagi, karena sejak awal pun aku merasa tidak
memiliki chemistry dengan dokter ini,
jadi untuk apa dilanjutkan? Terkadang.. cara terbaik untuk tidak menyakiti
seseorang adalah dengan tidak mengenalnya. Tapi orang lain terlalu sulit
mengerti. Yang mereka lakukan kepadaku hanya menunjukkan kesalahanku tanpa
memperhatikan perasaanku.
***
“Sampai
kapan kamu mau sendiri Amara?”. Pertanyaan retorik dari kakak sepupuku.
“Sampai aku menemukan seseorang”
“Kapan?”
“Kapan aku tahu aku mati mas?”
“Justru itu. Kamu enggak tahu kapan
kamu mati. Kamu mau mati sendirian”
“You
didn’t answer my question. Kapan aku mati? Mungkin kalau mas Irvan bisa
tahu kapan aku mati, aku bisa kasih jawaban kapan aku menikah”
“Enggak tahu Amara”
“Then
just stop trying to convince me about that doctor. I just don’t want to. Don’t
you get it?”
Setiap orang
selalu merasa kasihan kepadaku. Dan terus terang itu sangat merendahkan diriku.
Aku tidak perlu dikasihani. Aku pun tidak ingin menikah hanya karena angka
usiaku sudah cukup banyak. Mungkin aku seperti gadis kecil yang bermimpi
memiliki kisah layaknya fairy tale.
Karena aku ingin menikah dengan seseorang yang mencintai.. dan aku cintai.
Bukan seseorang “yang penting sudah mapan”. Bukan seseorang yang harus aku
terima begitu saja karena di usiaku, aku tidak memiliki lagi pilihan selain
menerima yang ada di depan mata.
No comments:
Post a Comment