Wednesday, November 7, 2012

MENCARI ARTI


“Orang-orang bilang aku kebanyakan milih. Tapi wajar kan kalau aku milih. Segila-gilanya aku, aku enggak mau kawin cerai. My marriage should be once in a lifetime”


Pria berkacamata di hadapanku berhenti bicara sejenak untuk menyesap kopi miliknya. “Amara”. Pria itu  berkata sambil meletakkan cangkirnya di atas meja, lalu mulai mengisap rokoknya. “Gimana ceritanya sampai kamu dan Aria pisah? Aku pikir kalian memang pasangan yang enggak bakal terpisah, aku kenal kalian berdua, tahu saat kalian berkali-kali pisah and then balik lagi, jadi aku pikir kamu memang untuk Aria, Aria untuk kamu”.

Aku tersenyum mendengar apa yang dikatakan olehnya. “Perasaan manusia bisa berubah David”. Aku menopang dagu dengan kedua tanganku, memandangi lampu-lampu dari cafe yang ada di seberang coffee shop tempatku dan David duduk saat ini.
            “I know Amara.. perasaan manusia memang berubah, i just can’t believe that.. it’s happen to you and him
            Aku tertawa. “Well.. just try to believe it then
           “Are you okey?”. David mengulurkan tangannya untuk menggenggam jemariku, berusaha memberikan dukungan sebagai seorang sahabat.
            I’m fine Dave. Masa–masa aku setengah gila udah lewat”.
       “Perempuan setangguh kamu bisa jadi setengah gila karena perselingkuhan?”. David menatapku dengan senyuman tipis dan pandangan tak percaya.
          “Hahahaha. Kalau ada orang yang bisa santai-santai aja karena calon suaminya menikahi perempuan lain, aku bakal ngesot-ngesot minta jadi muridnya deh”

Kami terdiam. Sibuk dengan lamunan kami masing-masing. Hanya mengisap rokok kami masing-masing sambil memandangi pengunjung yang berlalu lalang.

“Sekarang kamu sama siapa?”, katanya tiba-tiba di antara asap nikotin yang menguar di sekitar kami.
            “Enggak sama siapa-siapa. Baru patah hati lagi”
            “Another surprises. Siapa yang berani nolak kamu Amara?”
            “Hei. You think that I’m the most wanted lady in the world so that I just point my finger to someone?
            “Hahahaha. Okey. Kamu patah hati sama siapa?”

Aku menunjukkan foto seorang pria di blackberry-ku. David memandangi foto yang kutunjukkan kepadanya.
            “Huwow. Handsome huh? Laki banget. Kenal dimana?”
            “His name is Rei. Aku kenal waktu lagi motret di Lembang”
            “Apa yang bikin kamu crush on him?”
            “I don’t know Dave. Aku cuma ngerasa perasaan aku ini enggak karuan waktu kenalan sama dia. Enggak biasanya aku salah tingkah. Menurut kamu, ini cinta bukan sih?”

Tapi aku tidak mendapatkan jawaban apapun dari David. Yang kulihat hanya kedikan DI bahunya saja.

            “Amara. Menurut kamu.. di usia kita saat ini, dengan semua pencapaian yang kita miliki, kamu masih memikirkan pernikahan enggak sih?”

Aku sedikit terkejut dengan pertanyaan David yang tiba-tiba. Sedikit lama aku berpikir, mencari jawaban dari hati, mencari tahu apa yang diinginkan oleh hatiku, menghubungkannya dengan pikiranku agar selaras.

            “Hummm.. mungkin aku sanggup untuk hidup sendiri Dave. Apa yang enggak aku miliki saat ini? I got everything. Ummm.. not everything sih.. aku enggak punya partner berbagi cerita. Aku pengen Dave, pengen punya pasangan, punya teman berbagi, tapi aku enggak mau memikirkan.. just let it flow
            “Yeah.. you right Amara. Kadang aku mikir, kenapa ada orang yang begitu mudah mendapat pasangan, tapi kita.. “
            “Hu’ummm. Orang-orang bilang aku kebanyakan milih. Tapi wajar kan kalau aku milih. Segila-gilanya aku, aku enggak mau kawin cerai. My marriage should be once in a lifetime

David mengusap kepalaku perlahan. “Setelah semua yang telah kamu lalui, kamu berhak memilih yang terbaik Amara”
            “Aku paling benci kalau ada yang bilang, makanya jangan kebanyakan milih. Di usia kamu, kamu udah enggak punya banyak pilihan selain yang ada di depan mata”
            “Manusia-manusia berpikiran sempit”. David menanggapi perkataanku tentang pendapat orang lain dengan sedikit sinis.
            “Dave. Tuhan enggak akan ngebawa aku sejauh ini hanya untuk ninggalin aku tersesat kan?”
            “Tuhan itu luar biasa baik Amara. Tetaplah percaya akan hal itu Amara. Kamu harus bersama orang yang terbaik. Seseorang yang memiliki chemistry sama kamu”
David mengeluarkan tab dari dalam tasnya. Kulihat dia mencari-cari sesuatu pada tab-nya.
            “Coba kamu dengar lagu ini Amara”. David menyodorkan tab miliknya. Samar-samar kudengar alunan piano yang indah.
            “Dengar liriknya baik-baik”

Dan kamu..
Hanya perlu terima
Tanpa harus memahami
Dan tak harus berpikir
Hanya perlu mengerti..

            “Kadang-kadang kita harus berhenti mempertanyakan hidup Amara”. Disela-sela lagu, David memandangku.
            “Maksudnya?”
            “Bukankah kita di dunia ini karena skenario yang telah dibuat oleh Tuhan? Ikuti saja skenario itu. Every story has it end right?”

Iya. David benar. Terkadang memang lebih baik berhenti bertanya mengenai ini dan itu. Semakin banyak kita bertanya, semakin sering kita tidak siap akan sebuah jawaban, semakin banyak sakit yang kita rasakan.


Cobalah mengerti
Semua ini mencari arti
Selamanya tak kan berhenti

Aku dan David menikmati lagu yang dinyanyikan oleh salah seorang vokalis wanita ini. Lirik yang sederhana dan mengena di hati.

“Cobaan hidup itu enggak akan ada hentinya Amara. Bisa kamu bayangkan kalau kita sembarangan memilih pasangan hidup hanya karena alasan usia?”
            “Agree Dave. Aku juga enggak kebayang harus hidup sama seseorang yang enggak punya chemistry sama aku”
            “So.. you need no worry about what other people thinking about you. Your life is your responsibility”

***

Terkadang memang sulit mencari arti kehidupan yang kita jalani. Sulit. Bukan tidak bisa. Sering kita lebih mempertimbangkan pendapat orang lain daripada perasaan diri, tanpa kita sadari, kita membunuh perasaan kita sendiri.
            Aku merasa sedang berjalan didalam sebuah labirin. Berputar-putar lalu tersesat. Kembali lagi memulai dari awal, terkadang harus tergores karena memasuki semak belukar penuh duri, terkadang terluka karena jatuh di jalanan yang terjal, kadang harus berhenti karena lelah, bahkan terduduk tak berdaya saat jalan itu buntu.
            Sampai kapan? Aku pun sudah lupa. Sejak kapan aku berhenti mempertanyakan kapan ini semua akan berakhir. Aku hanya tahu, aku harus terus berjalan. Mencari arti. Mencari hidup.


Starbucks, 7 November 2012

1 comment: