“Kenapa begitu sulit menemukan alasan untuk menikahi seseorang
sementara begitu mudah kamu mengucapkan I Love You”
“Memangnya
kamu udah siap?”. Suara pria di seberang terdengar ragu saat menanyakan
pertanyaan itu. Meskipun aku pun sudah tahu ke arah mana pembicaraan ini, tapi
aku memutuskan untuk menganggap ini hanyalah sebuah pertanyaan.
“Siap untuk apa?”
“Terbangun setiap pagi melihat orang
yang sama, wajah yang sama bahkan kelemahan yang sama yang mungkin akan membuat
hari-harimu terasa mengesalkan?”
Aku tertegun
sejenak mendengar pertanyaan Adam, kekasihku. Bukan tanpa sebab dia menanyakan
pertanyaan ini. Latar belakang kisah asmara kami yang sama-sama mengalami
kegagalan, membuat kami sangat berhati-hati saat membicarakan kata pernikahan.
Bagiku, dan mungkin juga baginya, memutuskan untuk menikahi seseorang bisa jadi
merupakan mimpi buruk, meskipun harus diakui, kami pun tidak ingin seumur hidup
menjadi seseorang yang kesepian tanpa ada seseorang untuk berbagi cerita.
“Kalau kamu menanyakan siap atau
tidak siap, rasanya tidak akan ada orang yang benar-benar siap Dam”
Tidak ada
jawaban di ujung sana. Hanya desahan napas yang terasa berat dan penuh
keraguan.
“Kamu enggak takut gagal lagi?”
“Takut Dam, aku juga sama takutnya
sama kamu. Tapi sampai kapan ketakutan harus menghantui hidup? Kita enggak
pernah tahu kalau kita enggak mencoba”
“Tapi pernikahan itu bukan percobaan
Amara”
“I
know. Siapa juga yang menganggap ini sebuah percobaan. Tapi sampai kapan
juga kita berhenti di satu titik yang sama. Apakah dengan diam akan membuat
hati kita menjadi lebih baik?”
“I
don’t know Amara. Aku memang kehilangan arah sejak tunanganku meninggalkan
aku karena ego-nya”
“Lalu kamu pikir aku berada di arah
yang benar setelah dua kali rencana pernikahanku gagal karena perselingkuhan
yang menyebabkan mereka harus menikahi perempuan lain yang mengandung anak
mereka?”
“.....”
Kami
sama-sama terdiam. Dalam pikiranku, dan mungkin juga dalam pikirannya,
berkecamuk berbagai hal, berbagai ketakutan. Aku tahu arah pembicaraan ini akan
berujung kemana. Tapi aku berusaha untuk tetap diam. Menunggu dia, Adam,
kekasihku, mengambil keputusan yang terbaik untuknya, untukku, untuk kami
berdua.
“Adam. Let’s end this conversation.
Mungkin kamu perlu berpikir”
“Hu’ummm. I’ll call you setelah aku pulang dari Sukabumi. I Love You Amara”
Aku hanya
terdiam mendengar Adam mengucapkan I love
you. Meskipun sangat ingin aku menjawabnya, tapi aku memilih untuk menutup
percakapan di telepon ini. Aku termenung memandangi bintang-bintang dari balkon
rumahku. Kenapa begitu sulit menemukan alasan untuk menikahi seseorang
sementara begitu mudah kamu mengucapkan I Love You.
No comments:
Post a Comment