Wednesday, October 31, 2012

LOVE ME. MARRY ME? I CAN’T


“Kenapa begitu sulit menemukan alasan untuk menikahi seseorang sementara begitu mudah kamu mengucapkan I Love You”

“Memangnya kamu udah siap?”. Suara pria di seberang terdengar ragu saat menanyakan pertanyaan itu. Meskipun aku pun sudah tahu ke arah mana pembicaraan ini, tapi aku memutuskan untuk menganggap ini hanyalah sebuah pertanyaan.
            “Siap untuk apa?”
            “Terbangun setiap pagi melihat orang yang sama, wajah yang sama bahkan kelemahan yang sama yang mungkin akan membuat hari-harimu terasa mengesalkan?”

Aku tertegun sejenak mendengar pertanyaan Adam, kekasihku. Bukan tanpa sebab dia menanyakan pertanyaan ini. Latar belakang kisah asmara kami yang sama-sama mengalami kegagalan, membuat kami sangat berhati-hati saat membicarakan kata pernikahan. Bagiku, dan mungkin juga baginya, memutuskan untuk menikahi seseorang bisa jadi merupakan mimpi buruk, meskipun harus diakui, kami pun tidak ingin seumur hidup menjadi seseorang yang kesepian tanpa ada seseorang untuk berbagi cerita.


            “Kalau kamu menanyakan siap atau tidak siap, rasanya tidak akan ada orang yang benar-benar siap Dam”
Tidak ada jawaban di ujung sana. Hanya desahan napas yang terasa berat dan penuh keraguan.
            “Kamu enggak takut gagal lagi?”
            “Takut Dam, aku juga sama takutnya sama kamu. Tapi sampai kapan ketakutan harus menghantui hidup? Kita enggak pernah tahu kalau kita enggak mencoba”
            “Tapi pernikahan itu bukan percobaan Amara”
            “I know. Siapa juga yang menganggap ini sebuah percobaan. Tapi sampai kapan juga kita berhenti di satu titik yang sama. Apakah dengan diam akan membuat hati kita menjadi lebih baik?”
            “I don’t know Amara. Aku memang kehilangan arah sejak tunanganku meninggalkan aku karena ego-nya”
            “Lalu kamu pikir aku berada di arah yang benar setelah dua kali rencana pernikahanku gagal karena perselingkuhan yang menyebabkan mereka harus menikahi perempuan lain yang mengandung anak mereka?”
            “.....”

Kami sama-sama terdiam. Dalam pikiranku, dan mungkin juga dalam pikirannya, berkecamuk berbagai hal, berbagai ketakutan. Aku tahu arah pembicaraan ini akan berujung kemana. Tapi aku berusaha untuk tetap diam. Menunggu dia, Adam, kekasihku, mengambil keputusan yang terbaik untuknya, untukku, untuk kami berdua.

            “Adam. Let’s end this conversation. Mungkin kamu perlu berpikir”
            “Hu’ummm. I’ll call you setelah aku pulang dari Sukabumi. I Love You Amara”

Aku hanya terdiam mendengar Adam mengucapkan I love you. Meskipun sangat ingin aku menjawabnya, tapi aku memilih untuk menutup percakapan di telepon ini. Aku termenung memandangi bintang-bintang dari balkon rumahku. Kenapa begitu sulit menemukan alasan untuk menikahi seseorang sementara begitu mudah kamu mengucapkan I Love You.

No comments:

Post a Comment