Wednesday, October 31, 2012

MENGHAPUS JEJAK


“Hari baru sebagai pertanda satu kisah akan hadir menggantikan  kenangan akan suatu kerinduan”


Terbangun dengan dingin yang melumpuhkan persendian tulangku. Pagi di Dieng ini terasa begitu senyap, terdengar sayup suara dari masjid di kejauhan. Membungkus tubuhku dengan selimut tebal, kubuka pintu yang membawaku ke balkon kamar penginapanku selama disini.
Tertutup putihnya kabut. Matahari yang tak nampak karena hujan semalam. Kupejamkan mata menikmati segarnya pagi ini.

“When you wants to see me.. just close your eyes, and i’ll be there”. Aku merindukanmu Daniel. Bahagiakah kamu di atas sana? Lebih baikkah kehidupanmu disana? Aku membayangkan kehidupanmu disana jauh lebih baik, kalau tidak, pasti kamu akan kembali ke dunia ini. Nyatanya setiap orang yang telah pergi ke tempatmu berada, tidak ada yang kembali lagi.

“Sekarang aku tahu rasanya menjadi dirimu Anel”



And the hardest part
Was letting go, not taking part
Was the hardest part

Aku termenung di pagar balkon sambil memutar lagu Coldplay itu berulang-ulang di iPod-ku, mencoba merenungi perjalananku selama ini.

Berapa banyak pertemuan, berapa banyak perpisahan. Berapa banyak tawa, berapa banyak duka. Meskipun aku tahu, hidup selalu memiliki sisi yang berlawanan, tetap saja yang kita inginkan hanya sisi yang baik menurut kita.

“In life, you’ll realize that there is a purpose for every person you meet. Some are there to test you, some will use you, some will bring out the best in you”. Aku ingat Anel pernah berkata seperti itu saat kami berbicara tentang pertemuan dan perpisahan. Hal yang mudah di awal, namun sulit mengakhiri.

Sesingkat apapun pertemuan dengan seseorang, perpisahan itu tidak pernah mudah. Terkadang meninggalkan luka. Meskipun pada akhirnya waktu mendewasakan, membuat luka itu seolah-olah sembuh, tapi luka itu juga yang memaknai setiap pertemuan dengan seseorang.

***

“Heh! Kalo lo belom bisa pake in line skate, gak usah sok-sok pake papan loncat deh!”. Cowok di depanku memandangku galak. Sementara aku masih kesakitan karena berbenturan dengannya. Sepupuku menghampiriku, membantuku untuk berdiri.

“Sorry Nel, ini Amara, sepupu Gue”. Ternyata mas Andi, sepupuku mengenal cowok rese ini. “Lo gak apa-apa Amara?”
“Gak apa-apa mas, keseleo doang dikit”
“Lepas in line skate lo”. Cowok itu menyuruhku melepas in line skate-ku. Dan entah kenapa, dia sangat memegang kendali atas diriku. Aku yang biasa keras kepala, menurut begitu saja ketika dia memintaku melepas in line skate-ku.
“Mana yang sakit?”
“Pergelangan kaki gue sakit”. Dia menggendongku ke tepi lapangan dan mulai memijat pergelangan kakiku yang keseleo karena menabraknya. Sementara sepupuku hanya mesam mesem melihat aku dan cowok itu.
“Maaf tadi gue ngebentak elo”
“It’s oke. Gue juga salah gak liat-liat sebelum loncat”
“Gue Daniel. But just call me Anel”. Ternyata dia tidak seburuk yang kupikirkan.

Saat itu kami masih duduk di bangku SMA. Terlalu dini untuk mengatakan bahwa ini adalah cinta. Kami seperti anak-anak SMA pada umumnya yang pergi menonton beramai-ramai. Aku hanya tahu, bersama dengannya menyenangkan meskipun dia bukanlah seseorang yang gemar bercanda seperti teman-temannya yang lain.
Bahkan aku tidak melakukan apapun saat aku mendengar kabar bahwa Anel mengalami koma karena terjatuh ketika bermain basket.

“Anel koma Ra”. Kukuh, sahabatnya, yang menyampaikan kabar bahwa Anel sedang mengalami koma.
“Koma kenapa Kuh?”
“Cancer Ra.. Cancer.. bahkan keluarganya enggak tahu kalau Anel menderita kanker otak stadium lanjut”

Yang kudengar kemudian, Anel pergi setelah 3 hari mengalami koma. Saat itu aku belum mengerti arti sebuah kehilangan. Meskipun aku menangis, tapi hatiku tidak terasa sakit. Semudah itu aku melepas kepergian seseorang. Semudah itu.. saat aku belum memahami arti kehilangan.

***

Pagi ini, untuk pertama kalinya, aku menangisi kepergian Anel. Kepergian yang sudah berlalu selama bertahun-tahun. Aku semakin memahami, setiap pertemuan akan selalu bertemu dengan perpisahan. Setelah aku berkali-kali bertemu dengan seseorang, aku seperti berlomba dengan waktu menuju perpisahan. Tapi ternyata waktu selalu lebih cepat dariku. Aku tak pernah siap dengan sebuah perpisahan.

“Maaf Amara.. “. Entah sudah berapa kali aku mendengar permintaan maaf dari beberapa orang yang berbeda. Permintaan maaf yang mengakhiri sebuah pertemuan, mengawali sebuah keterasingan.

Berbentuk seperti apapun perpisahan itu, nyatanya aku memang tidak pernah siap. Setangguh apapun aku, perpisahan itu menjadi semacam racun yang perlahan mengikis pertahanan hatiku.

“Isn’t it crazy how we can look back a year and realize how much everything has changed? The people that left your life, entered and stayed”. 

Aku tahu Anel. Mungkin bukan orang lain yang telah berubah. Tapi kitalah yang berubah. Kita selalu memasuki fase yang baru di setiap kehidupan. Arti yang berbeda-beda dari setiap pertemuan dan perpisahan. Pada akhirnya kita hanya bisa menghapus setiap jejak dengan jejak langkah yang baru.

Jejak lama mungkin akan menghilang tergantikan jejak-jejak baru. Hari baru sebagai pertanda satu kisah akan hadir menggantikan  kenangan akan suatu kerinduan. Tapi kenangan itu sendiri tidak akan pernah benar-benar hilang. Yang kulakukan hanya merasakan saja kenangan itu bermain didalam memory-ku tanpa aku berusaha mengingat lebih dalam.

KNOCK KNOCK!

Ketukan di pintu kamar penginapanku menyadarkanku dari lamunan. Ternyata ibu pemilik penginapan homestay mengajakku untuk sarapan bersama yang lain.

“Sarapan dulu mbak”
“Saya cuci muka dulu bu, nanti saya menyusul ke bawah”

Dinginnya air menyegarkan kulit wajahku. Dan beberapa teman homestay telah berkumpul untuk sarapan bersama sambil tertawa berbagi cerita pagi. Aku tersenyum menyadari satu hal. Saat ini aku bertemu dengan orang-orang baru. Kebersamaan singkat selama homestay. Tapi mereka memberikan kebahagiaan yang tidak bisa ditukar oleh apapun.

Well.. In life, you’ll realize that there is a purpose for every person you meet. Menghapus jejak lalu dengan jejak yang baru.

No comments:

Post a Comment