Wednesday, October 31, 2012

ALL THAT MY HEART CAN HOLD


“Bukan karena aku adalah seorang perempuan yang tangguh menghadapi dunia. Tapi hatiku sudah tidak memiliki celah untuk menerima goresan luka”


Menyusuri jalan sepanjang Malioboro ini bukanlah kali pertama kulakukan. Aku selalu menikmati saat-saat aku menjadi seorang solo traveler. Bepergian seorang diri, tanpa rencana, tanpa tujuan. Aku bisa pergi kemana saja aku mau.
Berjalan sendirian, memperhatikan setiap sosok yang melintas, memperhatikan pedagang dan calon pembeli yang sedang tawar menawar, melihat seorang anak kecil yang merengek minta dibelikan mainan, menonton pertunjukan musisi jalanan Malioboro, menyapa turis lain yang sedang sama-sama memotret.

“Hah?! Lo mau Java trip sendirian?”. Anggi temanku memandangku dengan tatapan-lo-udah-gila-ya.
“Hei. Gue kan udah biasa jadi solo traveler”
“Iya. Biasa. Kalau kesehatan lo bener”. Anggi mengarahkan telunjuknya ke pelipisnya untuk mengingatkan aku, bahwa aku bisa sewaktu-waktu kehilangan kesadaranku karena Aneurisma yang aku derita sebulan terakhir ini.


Sejak aku kembali dari Kalimantan dan kembali bekerja di Bandung, kondisi kesehatanku terus menurun. Sakit kepala yang tak kunjung hilang, bleeding nose yang nyaris terjadi setiap malam, rasa mual di perut hingga menyebabkan aku muntah berkali-kali, gangguan penglihatan yang menyebabkan mata kiriku tidak berfungsi secara sempurna, dan demam disertai kejang yang kualami setiap malam.
Kondisi yang memaksa aku untuk melakukan General Check Up dan dokter menyarankan aku untuk menjalani MRI. Wow, baru kali ini aku masuk ke dalam sebuah ruangan berbentuk mirip kapsul untuk memindai seluruh bagian tubuhku.

“Aneurisma”. Dokter menyebutkan sebuah kata yang baru pertama kali kudengar seumur hidupku. Meskipun aku sepenuhnya sadar bahwa tubuhku bukan tubuh yang sehat karena sudah tiga kali aku merasakan thypus, belum lagi sakit maag kronis serta liverku yang terganggu, tapi Aneurisma adalah kata yang asing bagiku.
“Apa itu Aneurisma Dok?”
“Pembengkakan pembuluh darah di otak. Itu yang menyebabkan gangguan di kepala, penglihatan, perut, dan punggung”
“Jadi.. “
“Harus dilakukan pembedahan”

Bedah. Mungkin aku terbiasa dengan jarum infus dan Rumah Sakit, tapi seumur hidupku, aku belum pernah dan tidak pernah ingin merasakan tersentuh pisau bedah.

“Parah sekali kah Dok sampai harus dilakukan pembedahan?”
“Kalau pembuluh darah itu sampai pecah, resikonya adalah kematian”
“Berapa persen kemungkinan pembedahan itu berhasil?”
“20% - 40%”

Aku hanya terdiam. Kalaupun memang harus mati karena penyakit ini, aku memilih untuk mati secara wajar, dengan tubuh yang masih utuh tanpa ada luka sayatan.
Seorang teman pernah berkata kepadaku. “Saat kita tahu kalau hidup kita tidak lama lagi. Pilihannya hanya menjadi bahagia.”
Iya, aku tahu. Menjadi bahagia itu terdengar mudah. Setidaknya aku tidak ingin menghabiskan waktuku dengan bersedih sepanjang waktu.
Bukan karena aku adalah seorang perempuan yang tangguh menghadapi dunia. Tapi hatiku sudah tidak memiliki celah untuk menerima goresan luka. Meskipun terkadang aku merasa bahwa dunia tengah menghukumku dengan kegagalan demi kegagalan, tapi aku tahu, aku tidak boleh menghukum diriku sendiri dengan terus menyesali hidupku.

“Amara, please pikir sekali lagi. Lo Java trip sendirian dengan kondisi seperti ini, gimana kalau terjadi apa-apa di jalan?”. Sekali lagi Anggi mengingatkan bahwa aku mungkin saja melakukan kesalahan.
“Santai aja Anggi. Kalau belum waktu-NYA, aku pasti pulang kok”
“Lo gila Amara.. gila”. Anggi hanya memelukku. Dan untuk saat ini, memang hanya pelukan yang kubutuhkan.

***

Di kereta, dalam perjalananku menuju Solo, aku hanya memandangi jendela kereta. Aku tahu, aku tidak bisa melihat pemandangan apapun karena yang terlihat hanya gelap, tapi aku hanya membutuhkan satu titik untuk memikirkan kembali jalan hidupku.

“Maaf Amara, aku enggak bisa memenuhi keinginan kamu. Aku enggak bisa menikah dengan kamu”. Kata-kata Adam, yang sekarang sudah menjadi mantan kekasihku, masih terus mengganggu isi kepalaku.

Sungguh aku ingin berteriak bahwa dunia ini tidak adil. Tapi adilkah aku bila aku memaksa Adam untuk tetap bersamaku sementara dia ingin berpisah dariku. Mungkin aku terlalu mudah menyerah ketika itu berbicara tentang sebuah hubungan asmara, tapi aku tidak ingin membuat hidupku lebih menderita bersama dengan orang yang hanya berpura-pura mencintaiku.
“Semoga kamu menemukan kebahagiaan yang kamu cari Adam”. Aku menutup percakapan dengan Adam. Bahkan untuk menangis pun aku tak sanggup. Aku hanya terdiam, limbung, seperti terjebak dalam sebuah labirin yang membuatku terus berputar tanpa bisa kutemui jalan keluar.

***

“Ada apa dengan hidup gue Anggi? ..Ada apa dengan hati gue?”. Aku menerawang di coffee shop tempat aku dan Anggi bertemu.
“.....”
“Apa gue gak pantas disayangi? Apa gue gak pantas untuk menjadi tambatan hati seseorang? Aku selalu menjadi pelabuhan tanpa ada nahkoda yang menambatkan kapalnya”
“Someday it will Amara.. someday”. Bahkan Anggi pun terdengar ragu saat mengucapkan kalimat itu.
“Kenapa rasanya sakit banget Anggi?”
“Karena Adam hadir saat lo udah nutup hati lo Amara. I do understand if you feel hurting inside”

Iya. Aku tahu. Mungkin bukan karena sedalam itu perasaan cintaku pada Adam. Tapi karena Adam datang dan mendobrak hatiku saat aku sudah menutup rapat hatiku dari siapapun.
Adam yang menawarkan kenyamanan. Adam yang menawarkan masa depan. Adam yang memiliki latar belakang kisah yang mirip denganku. Saat itu aku berpikir, dia tahu rasanya tersakiti, jadi dia tidak akan menyakiti.

***

Terduduk di bangku kayu yang ada di seberang Museum Vredeburg Yogyakarta, memejamkan mata untuk mengembalikan kesadaran yang hilang sesaat lalu, mencengkeram botol air mineral, aku hanya berharap tidak ada seorang pun yang menyadari keadaanku yang sedang kepayahan karena sakit kepalaku.
Aku menyadari, aku bisa terjatuh dimana saja, but all that my heart can hold, i know that i will survive. Bertahan dari penyakit yang kuderita. Dan bertahan dari hati yang terluka, yang entah kapan, entah siapa yang mampu membuatnya sembuh. But i know.. my heart can hold on.

No comments:

Post a Comment